Mengembalikan Peran Mahasiswa Indonesia

Mahasiswa Indonesia




Jangan hanya sibuk mencari gelar, karena masih ada hal yang jauh lebih besar yang harus dikejar dan dibenahi. Kalimat tersebut merupakan setitik nasihat setelah melihat gambaran mahasiswa hari ini yang hanya mengejar ambisi pribadi tanpa peduli dengan kondisi rakyat hari ini. Sejak era kemerdekaan negera ini, hingga era orde lama dan orde baru. Mahasiswa dengan segala kekuatan yang dimilikinya, kekuatan fisik, akal serta kekuatan rasa yang berpadu dalam dirinya, hadir sebagai pembela kepentingan rakyat yang ketika hak-haknya di isolasi oleh penguasa dan kaum borjuis.

Mahasiswa, secara harfiah berarti siswa yang di-maha-kan, siswa yang dihormati dan dihargai di lingkungan sekitar terutama lingkungan berbangsa bernegara. Tidak  hanya itu saja, melainkan ada sesuatu yang lebih substansial dan esensial lagi, Dalam menjalankan rutinitas aktifitasnya, mahasiswa dituntut untuk mandiri, kreatif, dan independen. Di-maha-kan berarti seolah dia mewarisi sifat Allah sebagai Tuhan dalam al-asma al-husna. Tentu konsekuensinya adalah seorang mahasiswa harus memliki karakter dan kepribadian yang berlandaskan pada agama, yang memiliki rasa empati yang tinggi dan berakhlak mulia.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, mahasiswa menjelma menjadi suatu komunitas unik yang khas, ada pula yang mengatakan sebagai sesuatu yang aneh. Mengapa demikian? Karena mahasiswa secara historis telah mencatatkan nama dalam sejarah revolusi dan reformasi, menjadi barisan terdepan, garda terdepan, dan motor penggerak memperbaiki keadaan. Komunitas mahasiswa dikenal dengan jiwa militannya dan pengorbanan yang tak kenal lelah mempertahankan idealismenya, yang lebih substansial lagi, mahasiswa mampu berada sedikit di atas kelas masyarakat karena mempunyai kesempatan dan kelebihan yang tidak semua orang bisa memiliki. Mahasiswa memiliki potensi yang begitu besar, maka seyognyanya peran mahasiswa tidak hanya mementingkan kebutuhan pribadi saja. Melainkan harus mampu berkontribusi untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negaranya. Mahasiswa bukan hanya menjadi kaum pelajar yang tanggung jawabnya hanya belajar, tapi mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat.

Kemudian dengan kondisi sekarang di Indonesia, dengan segala permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks yang kian hari semakin runyam dan membingungkan masyarakat. Semakin maraknya isu-isu yang selalu silih hadir bergantian yang tak kunjung menemui titik penyelesaian. Hal itu sebenarnya menjadi alarm bagi kita bahwa negeri ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Krisis keadilan, krisis moral dan degradasi sosial yang terjadi  harus segera diselesaikan. Perlu sosok mahasiswa-mahasiswa seperti di era reformasi. Yang berani menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan, kendati terkadang nyawa pun harus dipertaruhkan.

Namun sangat disayangkan, kemajuan teknologi dan komunikasi di zaman sekarang yang berjalan terlalu cepat dan instan. Berimplikasi terhadap lahirnya generasi  the manic society. Kata manic berasal dari kata mania yang dalam kajian psikologi menunjukan orang yang bersikap impulsif, serba ingin cepat, terburu-buru sehingga akalnya tidak bekerja dengan baik karena dikalahkan oleh emosi-emosi negatifnya. Bukan berarti sesuatu yang cepat itu tidak baik, kalau memang sesuatu itu bisa dikerjakan dengan kehati-hatian, tidak masalah tentunya. Untuk apa harus pelan-pelan kalau memang bisa dikerjakan secara cepat. Namun yang berbahaya adalah jika emosi yang selalu ingin terburu-buru meraih sesuatu yang diharapkan tanpa disertai dengan nalar sehat dan kesiapan yang matang. 


Dalam the manic society  yang serba ingin cepat, akan melahirkan penyakit sosial 3H, yaitu hurried, hostile, humourless. Orang yang selalu ingin terburu-buru (hurried), tidak tenang, tidak bisa menikmati suasana yang ada, gelisah, cemas, merasa selalu dikejar-kejar waktu, maka kondisi kejiwaan seperti ini memunculkan sikap hostile, yaitu rasa persaingan, permusuhan, perebutan, paranoid,  kekhawatiran kalah, dan merasa tidak ada bagian untuknya sehingga hidup selalu dibayang-bayangi konflik dan persaingan. Dampak dari sikap yang tidak mau ketinggalan dan selalu ingin meraih kemenangan melahirkan sikap humourless. Yaitu, orang yang kehilangan selera humor. Wajahnya selalu serius, tegang, tidak bisa menikmati suasana rileks dan santai. Akibatnya, berbagai penyakit kejiwaan pun mudah datang dan semakin banyak menjangkiti masyarakat, khususnya kawula muda.

Maka wajar bila di kampus-kampus besar indonesia sekarang kebanyakan mahasiswa-mahasiswanya tidak lagi menjunjung persatuan dan kesatuan. Hal itu tercermin dari panggung politik yang ada di kampus. Lebih dari itu, yang memprihatinkan adalah dari sisi pergaulan yang jauh dari nilai-nilai moral. Sikap fanatisme antar kelompok yang ada di kampus seolah menjadi bumerang yang kian hari kian melunturkan asas persatuan. Banyak diantara aktivis di era sekarang yang hanya mencari eksistensi diri, menunjukan kepada khalayak sebagai seorang aktivis namun melupakan nilai-nilai yang harusnya terpatri dalam jiwa seorang aktivis. Peran mahasiswa perlahan mengalami kelunturan dan pergeseran nilai dan tujuan. Mahasiswa kini tidak lagi idealis seperti dulu, karena peran-peran mahasiswa yang ada diboncengi oleh banyak kepentingan yang ada. Selain itu, peranan mahasiswa yang seharusnya menjadi pembawa aspirasi rakyat, kini mulai bergeser menjadi academic oriented saja dengan hanya belajar sebagai kegiatan utama. Ia telah lupa bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki dorongan laten dalam jiwanya untuk menjadi sang altruis, yaitu perasaan bahagia melihat dirinya bermakna ketika sanggup membahagiakan orang lain. Namun realitanya banyak mahasiswa yang mengaktualisasikan dirinya hanya untuk merealisasikan tujuan pribadinya. Maka perlu diingat kembali bahwa hakikatnya mahasiswa itu lahir dari rahim rakyat, dan sudah sepantasnya mahasiswa membela kepentingan rakyat.  

Sudah saatnya bagi para mahasiswa terbangun dari tempat tidurnya. Seseorang yang sudah lama menetap di zona nyaman (comfort zone), tidak berani melakukan perubahan untuk mencari kehidupan baru yang lebih menantang dan melakukan perubahan. Termasuk perubahan keadaan sosial agar lebih baik. Istilah zona nyaman (comfort zone) merujuk pada keadaan, situasi, dan wilayah yang dirasakan mendatangkan rasa nyaman, aman, dan tidak berbahaya sehingga seseorang enggan keluar dari wilayah itu. Padahal kenyamanan itu belum tentu sejati (genuine) sebab bisa saja menipu dan membatasi terbukanya peluang untuk memperoleh kemajuan dan kebahagiaan yang lebih tinggi. 

Mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa tentu harus tahu terlebih dahulu apa itu muda/pemuda. Dalam bahasa arab pemuda disebut dengan Asy-syabab. Asy-Syabab (pemuda) mempunyai makna kekuatan, baru, indah, tumbuh, awal segala sesuatu. Panta rei,  kata Heraklitos, seorang filsuf Yunani yang hidup lima abad sebelum masehi. Bahwasanya segala sesuatu tidak ada yang diam, semuanya bergerak. Hidup ini ibarat arus air sungai yang selalu bergerak. Begitulah seharusnya gambaran seorang mahasiswa. Hari-harinya harus berkembang, penuh karya, dan memberi kemanfaatan bagi masyarakat. Keluar untuk menampilkan sosok sebenarnya sebagai agen of change yang mampu memberikan perubahan di tengah masarakat. Sebagai Control society  yang menjadi peran dalam menjaga dan memperbaiki apa yang salah dalam masyarakat. Iron stock sebagai aset, cadangan, penerus, dan pengganti generasi-generasi sebelumnya. Dan yang penting lagi adalah sebagai moral force, yaitu memberikan contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat. Hal ini menjadi beralasan karena mahasiswa adalah bagian dari masyarakat sebagai kaum terpelajar yang memiliki nasib yang lebih baik untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, sudah waktunya bagi para mahasiswa untuk kembali memainkan perannya sebagai mahasiswa yang tidak hanya berjuang untuk diri sendiri, tapi juga untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Mahasiswa adalah generasi muda yang dalam lembaran sejarah telah membuktikan, bahwa perubahan-perubahan besar itu terjadi di tangan generasi muda mulai dari zaman nabi, kolonialisme, reformasi, dan di zaman lain sesudahnya. Mahasiswa harus mampu menyikapi perkembangan teknologi dan komunikasi dengan bijak serta tidak lupa untuk kembali membaca sejarah para pendahulu agar bisa berkaca dan mengambil nilai-nilai kebaikan sehingga bisa di implementasikan dalam  kehidupan. Dengan begitu, akan kembali terlahir generasi mulia yang memelopori perubahan dan menciptakan peradaban yang menjunjung tinggi keadilan dan kedamaian di dalam masyarakat.








Daftar Pustaka


Ashari, Budi, Remaja, Antara Hijaz & Amerika, Depok : Pustaka Nabawiyah, 2012.

Anarkie, Jiwo Damar. (2010). “Peran Mahasiswa Indonesia Paling Ideal: Creator of Change, Iron Stock, Social Control, & Moral Force” (Online). Tersedia : http://www.anakui.com/peran-mahasiswa-indonesia-paling-ideal-creator-of----change-iron-stock-social-control-moral-force/ yang diakses 28 September 2017.


Hidayat, Komaruddin, Psikologi Kebahagian, Jakarta : Noura Books, 2015.
_________________, Psikologi Kematian, Jakarta : Noura Books, 2016.

 





5 comments: