Dilema Pendidikan di Indonesia

Picture from Google : silabus.org

Pendidikan dan pembelajaran adalah suatu keniscayaan yang prosesnya tidak akan berhenti sepanjang hidup manusia. Pendidikan dan pembelajaran diharapkan akan membawa perubahan kearah yang lebih baik. Bagi orang-orang yang mau membuka mata dan memiliki kepekaan dengan dunia pendidikan, maka pasti menyadari bahwa pendidikan hari ini sakit. Dikatakan sakit karena pendidikan tidak mampu membangun peradaban mulia yang mendidik manusia menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem dan metode pendidikan yang ada. Sehingga gagal dalam menghasilkan generasi yang beradab dan bermoral. Dalam sebuah penelitian yang yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) ditemukan bahwa 50–60% pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Untuk akses media porno, baik pornografi maupun pornoaksi, Zoy Amirin seorang pakar psikologi seksual Universitas Indonesia mengutip Sexual Behavior 2011, mengungkapkan bahwa 64% anak muda di kota-kota besar Indonesia belajar seks melalui film porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39% responden ABG usia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seksual. Dan yang paling akrab terdengar oleh telinga kita adalah kasus tawuran pada para remaja, jumlah tawuran pelajar mengalami kenaikkan pada 6 bulan pertama hingga bulan juli 2012 telah terjadi 139 tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Sementara pada tahun 2011, terdapat 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia. Dari data-data yang sudah penulis sebutkan, cukup untuk menjadi barometer kegagalan pendidikan Indonesi di era sekarang. Maka dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menawarkan gagasan yang akan menjadi resolusi bobroknya moral para pelajar di Indonesia melalui radiasi keteladanan dari seorang guru.
Dua tokoh ahli pendidikan, Poerbakawatja & Harahap, memaknai pendidikan sebagai usaha sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya. Sementara tujuan pendidikan nasional tertera dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 3, bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Dari pengertian dan tujuan pendidikan yang telah disebut dapat kita pahami bahwasanya ada hal yang utama dalam sebuah proses pendidikan. Yaitu, melahirkan generasi yang memiliki akhlak mulia dan budi pekerti yang baik. Tentunya, untuk mewujudkan semua itu perlu adanya sebuah sinergis dalam gerak dari pelbagai elemen yang memiliki peran dalam dunia pendidikan. Dari setiap elemen yang ada di dunia pendidikan, guru merupakan aktor utama terciptanya generasi idaman yang akan membangun peradaban, sebuah peradaban yang memanusiakan manusia dan menciptakan kesejahteraan dalam sosial masyarakat. Seorang guru adalah penstransfer ilmu, maka sepatutnya ia memiliki modal dasar berupa ilmu yang akan diajarkan kepada peserta didiknya. Hal ini merupakan sebuah poin yang sangat penting dalam kelancaran sebuah proses belajar mengajar dan merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan itu. Bila seorang guru tidak menguasai bahan yang akan diajarkan, tidak mempunyai pemahaman tentang sebuah ilmu, maka dikhawatirkan akan terjadi kesalahan pentransferan ilmu kepada peserta didik. Efeknya, peserta didik mendapat ilmu yang salah.
Untuk tercapainya kualitas yang baik dalam pengajaran harus didasarkan pada akhlak dan tingkah laku dari seorang guru. Sehingga dalam psikologi pendidikan muncul teori modelling yang dikemukakan oleh Albeert Bandura, dimana seorang pendidik menjadi potret atau model bagi para peserta didiknya. Dasar kaidah ini yang menururt saya menjadi penegas bahwa pengajaran yang dilakukan melalui keteladanan yang didapatkan oleh peserta didik dari gurunya lebih baik dari pada sekadar menyampaikan pemikiran melalui lisan kepada peserta didiknya. Begitu pula bila seorang guru yang hanya memberikan nasihat-nasihat berupa akhlak mulia, tetapi tingkah laku guru tersebut kontradiksi dengan yang disampaikannya, maka dapat menimbulkan kegagalan dalam memberikan keteladanan terhadap peserta didik. Sehingga untuk dapat dijadikan sebagai sebuah teladan, seorang guru harus dapat memberikan pemikiran-pemikiran berupa nasihat-nasihat akhlak serta mampu untuk mengaplikasikannya pada perilaku dirinya. Dalam setiap penyampaian materi-materi ilmu pengetahuan perlu dihiasi dengan nilai-nilai akhlak. Dengan keteladanan dan perhatian seorang guru dalam mendidik akhlak peserta didiknya maka akan terbentuk generasi yang tidak hanya menguasai bidang-bidang tertentu dalam ilmu pengetahuan, tetapi memiliki nilai-nilai akhlak yang baik pula. Sehingga dengan akhlak yang sudah melekat pada peserta didik, tidak akan mungkin mereka berani berbuat tindakan kriminal atau pun hal-hal negatif yang membuat suram masa depannya.
Seorang pendidik layaknya seorang arsitek yang merancang bangunan megah dan indah yang dalam prosesnya membutuhkan kesabaran, keuletan, dan ketelitian. Maka sudah sepatutnya bagi para pendidik membuat rancangan untuk melahirkan generasi gemilang yang akan mewarisi bumi dengan ketinggian ilmu, kerendahan hati, dan kemuliaan akhlak. Dalam proses perancangan tersebut tentunya perlu sebuah kesabaran, keuletan, keilmuwan, keikhlasan yang dengan itu semua akan menjadi bingkai keteladanan seorang pendidik bagi para anak didiknya. Di era sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat cepat dalam pencarian dan penyebaran informasi, dan siapa pun dapat mengaksesnya dengan cepat dan mudah. Oleh sebab itu, seorang guru harus senantiasa menambah wawasan ilmunya. karena menjadi seorang guru adalah menjadi sosok panutan bagi setiap peserta didiknya, baik dari segi akhlak maupun keilmuannya.  Pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru memberikan teladan yang baik (Hamd, 2002: 27). Maka, menurut gagasan yang telah penulis paparkan. Untuk membangun peserta didik yang berilmu, bermoral, atau berakhlak adalah sebuah langkah awal dalam terwujudnya tujuan-tujuan pendidikan yang kelak akan membangun peradaban yang memuliakan manusia. Hal ini merupakan solusi teknis yang berkait langsung dengan pendidikan yang harus dijadikan langkah awal pemerintah dalam meretas permasalahan pendidikan, kendati ada permasalahan dalam sistem yang juga harus direkonstruksi. Tetapi, dalam pandangan saya, solusi teknis merupakan lokomotor yang akan memperbaiki bobroknya moral para pelajar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa segala problem yang terjadi pada para pelajar hari ini salah satu penyebabnya adalah karena pembelajaran yang di sekolah hari ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitifnya saja dan mengabaikan aspek afektifnya seperti perasaan lapang, sabar, tenang, dan kemampuan dalam mengendalikan emosi. Maka perlu adanya keteladan dari seorang pendidik (guru) yang merupakan role model bagi para peserta didik. Keteladanan akan menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan anak didik. Keteladanan guru adalah keteladanan yang dapat dijadikan acuan bagi peserta didik dalam proses pembelajaran yang nantinya akan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sehingga diharapkan pemerintah menyadari akan pentingnya pendidikan karakter di sekolah serta mampu untuk merealisasikannya. Dan bagi seorang pendidik perlu untuk tidak hanya memiliki wawasan keilmuwan yang luas, namun juga memiliki akhlak yang baik yang mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya.

#IndonesiaTersenyumBersamaPendidikanBeradab

2 comments: