Cerpen Kisah Cinta Mujahid -Temui Aku di Telaga Salsabila-

14:59



          Dalam keheningan malam yang sunyi. Gelap dan sepi yang menyelimuti, rintikan hujan berbunyi tiada henti. Tepat pada tanggal 07 November 2000, sosok pemuda berusia 25 tahun, Azam Abdullah. Akrab dipanggil Azam, Ia tertidur lelap di malam yang sunyi dan sepi. Tiba-tiba terdengar lantunan merdu “Insya Allah dari Maher Zain” di sudut kamar Azam. Sebuah alarm yang telah Azam setting  untuk membangunkannya di 1/3 malam. Ibadah sholat malam telah Azam lewati untuk melepas rindunya pada sang Ilahi. Tiba-tiba adzan subuh berkumandang, tampak terdengar panggilan seorang wanita dari depan pintu kamar Azam.
          “Nak, sudah subuh, buruan ke masjid....!” Suaranya terdengar agak serak.
          “Iyah Mak, azam udah bangun ko.” Jawab Azam dengan lembut.
          Setelah ditunaikannya sholat subuh, azam bergegas pulang. Namun sesampainya ia di pintu masjid, tampak seorang laki-laki dibelakangnya memanggil namanya. Orang itu pun semakin mendekati azam dan Ia pun memandanginya dengan mata sayu.
          “Eh Pak Ustadz Kamil, ada apa Pak Ustadz?” Tanya Azam dengan suara lembut. Ia begitu menantikan apa yang akan diucapkan oleh Ustadz Kamil yang merupakan sosok ustadz yang telah membuatnya terinspirasi karena semangatnya yang luar biasa dalam berdakwah.
          “Enggak ko, ente baru pulang dari Malang yah zam?” Tanya Ustadz Kamil.
          “Iyah Pak Ustadz, alhamdulillah kemarin wisudaan Pak Ustadz.” Jawab Azam sambil tersenyum memandangi Ustadz Kamil.
          Ustadz Kamil mula-mula meminta Azam untuk menceritakan pengalamannya semasa ia belajar di Universitas Islam Negeri yang ada Malang. Dengan senang Azam menceritakannya, sesekali canda tawa menyelimuti perbincangan Azam dan Ustadz Kamil. Azam menceritakan pengalaman pahit dan manis yang pernah ia rasakan, salah satu pengalaman pahitnya ketika ia pernah diludahi dan dimusuhi oleh orang-orang ketika ditugaskan oleh kampusnya untuk mengabdi disebuah pedasaan dan mengajarkan islam disana.  Ustadz Kamil begitu antusias mendengarkan tutur kata Azam dan sedikit demi sedikit memahami keperibadian sosok pemuda itu lewat gaya bicaranya serta segala pengalamannya yang luar biasa.
          Ustadz Kamil menggeleng, “Masya Allah, pengalaman ente hebat juga yah zam, kalau begitu ente mau enggak jadi penjual bareng ane?” Tanya Ustadz Kamil. Azam kaget, ia berfikir sejenak sambil mengingat sosok Ustadz Kamil yang waktu dulu bukanlah seorang penjual/pedagang.
          “Hmm... emang Pak Ustadz jualan apa?” Tanya Azam dengan nada penasaran.
          Ustadz Kamil tiba-tiba mengajak Azam untuk duduk sejenak di depan teras Masjid. Azam semakin penasaran dan menantikan apa yang akan diutarakan oleh sosok yang menjadi inspirasinya itu.
          “Begini zam, ente kan masih muda sedangkan ane udah tua, ente masih kuat sedangkan ane udah mulai melemah. Menurut ane, ente tuh sosok pemuda yang berani, berjiwa pemimpin, ente juga berilmu, berwibawa, dan tentunya ente adalah pemuda yang taat kepada Allah SWT. Dunia ini sudah semakin tua zam, ....”
          “Afwan Pak Ustadz, jadi penjual ko nyambungnya ke situ? Apa kaitannya Pak Ustadz?” Tanya Azam yang memotong ucapan Ustadz Kamil. Azam merasa bingung dengan apa yang diutarakan oleh Ustadz Kamil.
          “Dengerin dulu zam, belum selesai.....” Jawab Ustadz Kamil sambil memberikan senyuman kecil kepada Azam.
          “Hehe iyah Pak Ustadz afwan... “
          Mentari yang semakin tampak di ufuk sebelah timur. Suasana masjid yang berbeda dari sebelumnya. Namun, tak sedikitpun menyurutkan perbincangan 2 insan yang memancarkan keimanan bagi siapa saja yang memandang. Dan mulailah Ustadz Kamil kembali melanjutkan pembicaraan.
          “Dunia ini semakin tua zam, dan sejatinya dunia ini hanyalah sebuah tempat persinggahan sementara yang suatu saat nanti kita pasti pergi untuk menuju tempat keabadian yaitu akhirat. Lihatlah di belahan bumi sana zam, banyak saudara-saudara muslim kita yang ditindas, ditebas lehernya, mereka dibantai, dihinakan, serta tidak ada lagi rumah yang dapat mereka jadikan tempat tinggal, hari-harinya hanya untuk mengejar kematian, meraih syuhada dan mencari rumah di Surga. Al-Quran kini disisihkan dan ajaran Islam dilupakan, Islam kini menjadi asing seperti sedia kala ketika pertama kali muncul ke permukaan. Dan fakta hari ini, banyak Umat Islam yang takut dengan keislamannya. Mereka hanya terpaku terdiam menyaksikan pembantaian saudaranya sendiri. Dakwah bukan lagi sebagai prioritas kehidupan, sehingga wajar kalau umat islam tersisihkan. Azam, ente harus jadi pejuang sejati, menjadi penjual yang selalu menawarkan kebaikan-kebaikan yang ada dalam Al-Quran. Tugas ente hari ini adalah Dakwah zam.”
          Azam yang merupakan aktivis dakwah semasa kuliah terharu dengan apa yang disampaikan oleh Ustadz Kamil. Ia tak kuasa menahan air matanya hingga jatuh ke lantai masjid. Dengan segera Azam langsung memeluk Ustadz Kamil dan menyanggupi tawaran Ustadz Kamil untuk bareng-bareng menjadi pedangang, dengan kata lain menjadi penyeru umat manusia.
          Seiring berjalannya waktu, kini Azam lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Ustadz Kamil untuk belajar dan menemani beliau yang hidupnya disibukan dengan menyeru umat menuju jalan yang selamat. Baik mengisi pengajian bapak-bapak, ibu-ibu atau bahkan mengajar para pemuda untuk memahami islam. Sibuknya Azam dalam dunia dakwah, bukan berarti ia melupakan kehidupan dunianya. Berbekal ilmu yang ada dan semangat yang menggelora, Azam kini sukses dengan pekerjaannya sebagai Penulis sekaligus Direktur di Perusahaan Islamic Book di Bandung, tanah kelahirannya.
          Sebelum Ustadz Kamil wafat, beliau memberikan nasihat untuk Azam. “Ketika nanti ane udah pergi, tetaplah ente berpegang teguh pada jalan ini zam. Lanjutkan perjuangan ini dan carilah teman sejatimu  dengan segera. Yaitu seorang wanita yang akan menemani perjuanganmu, yang akan membelamu disaat yang lain mencercamu, yang akan menjadi penghibur dikala kesedihanmu, yang akan melengkapi agamamu dan yang akan melahirkan kader-kader dakwah dari rahimnya.
***
          Enam bulan Azam telah berpisah dengan sosok yang menjadi inspirasi hidupnya yang sudah pulang ke alam akhirat. Usai menunaikan ibadah sholat subuh Azam teramat rindu dengan sosok Ustadz Kamil. Di pembaringan kamar tidurnya, sejenak Azam memikirkan nasib dakwah di kampung halamannya. Tiba-tiba ia teringat satu kalimat “carilah teman sejatimu….”
          Tak terasa waktu sudah menunjukan 06.00 Wib. “Azam… Azam… sarapan yuk..” Panggil Emak di depan kamar azam. Segera Azam bersiap-siap duduk di meja makan untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan diatas meja. Semenjak Abahnya meninggal, Azam hanya hidup bersama emaknya dan adik wanitanya yang baru berusia sepuluh tahun.
          Sesaat mata Azam terfokus pada gelas yang bening tanpa air diatas meja. Dipandanginya gelas itu tanpa sedikitpun berkedip. Ia tiba-tiba menafsirkan dalam hatinya, “sebagus apapun, sebersih dan sebening apapun gelas, tak lengkap dan tentunya takkan pernah bisa memberi manfaat jikalau tiada air didalamnya. Sama halnya dengan diri ini, sehebat apapun, sejatinya tidaklah lengkap tanpa pendamping hidup yang akan mengisi hati, menyegarkan hari-hari dan menemani dalam setiap titian kehidupan.”     
Emak...Mak... itu kenapa kakak melamun ajah…” Tanya adik kepada Emak.
          “Azam…! hayuk buruan makan, mikirin apa sih zam? Pengen nikah toh zam?” Tanya Emak sambil menggetak tangan Azam yang ada di meja.
          Azam kaget tanpa menjawab pertanyaan emaknya dan hanya memberi senyuman kecil kepada emak dan adik perempuannya.
          Jam dinding  sudah menunjukan pukul 07.00 WIB, Azam bergegas kembali masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke kantornya. Segalanya sudah Azam persiapkan, pamitlah ia kepada emaknya untuk bekerja. Dalam perjalanan menuju kantornya, Ia mulai memikirkan sesuatu. Wasiat ustadz kamil dan ucapan emaknya tadi pagi melekat dalam pikirannya, yaitu menikah.
***
          Dalam waktu tiga bulan, Azam pun akhirnya menikahi seorang wanita dari desa Sukajadi, Kab. Serang. Sebuah desa yang terkenal dengan kebengisannya dan merajalelanya kemaksiatan dan jauh dari nilai-nilai keislaman.
          Dengan restu dari keluarga kedua mempelai dan proses ta’aruf yang berhasil dilalui, kini Azam mengimpikan ketenangan dan kedamaian hidup yang telah lama ia nantikan. Ia menikah dengan wanita bernama Ainul Mardhiyah, akrab dipanggil Aina. Salah seorang wanita yang terpandang di desanya karena kemuliaan akhlaknya serta kedalaman ilmunya. Aina bukanlah wanita yang Asing buat Azam, Ia merupakan satu angkatan dengan Azam semasa SMP, sebuah SMP yang dipadukan dengan pesantren, tepatnya di Pesantren Nurul Ilmi di daerah Bandung, Jawa Barat. Alasan Azam memilih Aina sebagai teman sejatinya adalah karena Ia merasa jatuh hati saat pertama mengenalnya di SMP. Dan azam tahu betul tentang pribadi dan perangainya semasa belajar di Pesantren. Yaitu, keimanannya yang selalu terpancar dalam bingkai akhlak, tutur katanya sederhana namun penuh makna serta terjaga maruahnya. Selain itu juga, Aina merupakan sosok wanita yang sangat cerdas semasa di pesantren.
          “Mas, kenapa Allah mempertemukan kita yah? padahal dulu kita jarang  bertegur sapa, malah mas sangat cuek sekali.” Tanya Aina kepada Azam suaminya.
          Azam tersenyum sambil ia memegang tangan istrinya. “Inilah hakikat perjodohan neng, penuh drama dan menyimpan sejuta rahasia. Mas hanya berharap semoga kita kan selalu bersama di jalan Allah hingga kelak kita bisa bersua di Surga-NYA
          Sang istri tertegun dengan ucapan suaminya. “Insya Allah mas, semoga aku bisa menjadi istri sholehah yang membantu dalam setiap perjuangan mas. Aku akan belajar dari Khadijah yang telah memberikan cinta terbaiknya kepada Rasulullah, yang menemani Rasulullah disaat yang lain menjauhi, yang mencintai Rasulullah disaat yang lain membenci. Doakan yah Mas, semoga aku bisa walau mungkin sulit. Ingat Mas, pernikahan kita ini sebagai penyempurna agama kita dan akan sempurna jika Mas selalu menuntunku di jalan dakwah. Dan yang terpenting dari sebuah pernikahan adalah sebagai rumah bagi Mujahid dan Mujahidah kecil kita yang kelak akan menjadi jaminan kita untuk masuk  surga.” Ujar Aina.
          Pada saat itulah air mata Azam jatuh untuk yang kedua kalinya setelah terakhir kali air mata itu jatuh di hadapan Ustadz Kamil. Ia pun mengecup kening istrinya seraya berkata kepadanya, “semoga engkau kuat menjalaninya sayang.”

***
          Kini Azam tinggal di Desa Sekarmaju Kab. Serang, tanah kelahiran istrinya. Namun, Azam tidak pernah melupakan emaknya yang kini jauh dari tempat tinggalnya. Ia meminta tolong kepada keponakan laki-lakinya untuk tinggal di rumah emaknya dan menjaga adik wanitanya yang masih kecil. Lingkungan yang terasa amat asing bagi Azam. Namun, baginya ini adalah langkah awal untuk beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya yang jauh dari nilai-nilai islam. Profesinya sebagai Direktur dan Penulis buku tidak berhenti kendati domisilinya jauh dari kantornya. Karena perusahaan yang ia pimpin tersebut sudah berkembang pesat dan mempunyai cabang di beberapa daerah. Termasuk di daerah Serang.
          Azam memulai langkah awalnya. Ia ingin melanjutkan perjuangannya sewaktu tinggal di tanah kelahirannya dulu bersama Ustadz Kamil. Yaitu, aktif mengajar pengajian (dakwah) pemuda dan ibu-ibu serta mengaktifkan kegiatan syiar islam guna mencapai satu tujuan yang pernah ia dambakan bersama almarhum Ustadz Kamil, yaitu menyebarkan islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan membawa masyarakat menuju keridhoan Allah SWT.
“Sayang, disitu ko masjidnya sepi banget yah?” Tanya Azam kepada Aina.
“Iyah mas, tadinya aktif, tapi sekarang udah pada enggak berani lagi pergi ke masjid.”
“Laahh, enggak berani sama siapa neng?” Tanya Azam yang mulai penasaran.
“Jadi mas, disini tuh ada yang namanya Pak Tho’is, orang paling kaya di desa ini, ia punya banyak Body Guard gituh mas. KTP ia islam, tapi ia melarang masyarakat untuk datang ke masjid, bahkan mengancam akan membunuh warga yang masih datang ke masjid. Makanya saya sama teman-teman yang yang dulu sering ngaji di masjid di pengajian Ustadz Haris, sekarang kami enggak berani lagi datang ke masjid.”
          Urat nadi Azam menegang ketika mendengarkan penjelasan istrinya, tampak dari wajahnya rasa geram dan penasaran dengan sosok Pak Tho’is. “selain itu, apalagi yang Pak Tho’is lakukan di desa ini neng?” Tanya Azam. “ketika pertama kali datang ke desa ini Ia  mengaku pernah belajar di mekkah dan mengatakan kepada masyarakat di desa ini bahwa islam sudah direvisi. Pak Tho’is juga sering memengaruhi masyarakat untuk mengikuti ajarannya mas. Untuk itu keluarga saya dan sahabat-sahabat saya sekarang beribadah di rumah masing-masing dan selalu bersembunyi ataupun menghindar ketika ada Pak Tho’is, terkadang kami juga sedih mas melihat masyarakat yang disiksa Pak Tho’is lantaran membangkang ajarannya.” Ujar Aina dengan nada yang sedih.
          Azam yang semakin geram dengan sosok Pak Tho’is bertanya kembali pada Istrinya. “Emang ia ngajarin apa Neng??”.
“Ia ngajarin bahwa sholat itu cukup sekali dalam seminggu, yaitu pada hari sabtu. Ia juga mengatakan kalau sholat itu jangan di masjid, karena masjid itu tempat berkumpulnya para jin. Ada satu lagi yang aneh Mas, jadi sebelum melakukan sholatnya pun di anjurkan untuk meminum alkohol atau sejenis minuman keras gituh. Ia juga punya tempat tersendiri untuk melakukan sholat sama para pengikutnya. Tapi, tempatnya gelap gituh Bang, pokoknya enggak ada cahaya sedikitpun deh. Sholatnya juga harus dalam kedaan telanjang, disitu campur laki-laki dan perempuan Mas.”
“Astaghfirullah....” ucap Azam dengan raut wajah yang nampak gelisah berlapis kesedihan dalam hatinya.
“Mas, kamu harus berani melawan mereka. Mas harus dateng ke rumah Ustadz Haris minta bantuan sama beliau dan ajak Ustadz Haris lagi supaya mau mengaktifkan masjid dan memberantas kesesatan itu mas.” Pinta sang istri.
          Tanpa pikir panjang bergegaslah Azam dan meminta tolong kepada Istrinya untuk menemaninya dan menunjukan rumah Ustadz Haris. Hingga sampailah mereka di kediaman rumah Ustadz Haris, oleh istrinya Azam diperkenalkan kepada Ustadz Haris. Tatkala melihat Ustadz Haris, dipandanginya Ustadz Haris yang sudah menampakan wajah yang tidak ceria lagi dengan alisnya yang sudah mulai memutih, pikiran Azam teringat kembali dengan sosok Ustadz Kamil. Dengan kewibawaan yang tampak dalam setiap gerak-geriknya saat berbicara, Azam mencoba untuk membujuk Ustadz Haris untuk bareng-bareng menyelamatkan desa Sekarmaju dari azab Allah SWT. Dan syukur alhamdulillah berkat bujukan dari Azam dan istrinya, Ustadz Haris memberikan respon positifnya dam meminta Azam untuk datang kembali ke rumahnya esok pagi untuk bersilaturahmi ke  rumah para warga dan memberi pemahaman tentang islam yang benar kepada mereka.
          Tibalah pagi yang dinanti, tepat pukul 07.00 Wib Azam pamit kepada istrinya, “Sayang, Mas mau pergi, do’akan semoga dakwah Mas sama Ustadz Haris mendapat antusias para warga.”
“Iyah mas, akan selalu aku do’akan yang terbaik buat mas.” Jawab sang istri sambil tersenyum.
Pamitlah Azam sambil memberikan kecupan ke kening Istrinya dengan lantunan do’a  Ø¨Ø³Ù… الله توكلت على الله لاحول ولاقوَّØ© الاّبالله .

Berjalanlah azam menuju rumah Ustadz Haris Ustadz Haris. Hingga akhirnya  dimulailah perjalanan awal mereka. Sebuah perjalanan dakwah yang berbeda dari dakwah yang biasa Azam serukan semasa di desanya dulu. Bersama Ustadz Haris ia berharap bisa mendatangi setiap rumah warga. Dengan berbekal silaturahmi yang berbeda dari silaturahmi biasanya, tentunya membutuhkan waktu yang amat banyak untuk memberikan pemahaman tentang apa itu hakikat keimanan dan keislaman. Ghiroh Azam semakin kuat bertambah dan semangat pun semakin memuncak. Ia kembali teringat dengan perjuangan dakwah awal Rasulullah SAW yang mendatangi setiap pintu rumah warga mekkah dulu.
 Satu pintu, dua pintu, tiga sampai enam pintu telah mereka sambangi. Namun, apa yang diharapkan tidaklah semudah apa yang dipikirkan. Hari sudah gelap, matahari tak terlihat, alunan do’a yang kini selalu terucap dari mulut dua sosok insan yang tidak kenal putus asa. Akhirnya, Ustadz Haris dan Azam memutuskan untuk kembali ke rumah.
Istri Azam yang dalam keadaan hamil 3 bulan sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk suaminya di rumah, merasa khawatir dan hatinya semakin gundah gulana. Melihat jam menunjukan pukul 11.45 Wib, tapi suaminya tak kunjung pulang, hatinya semakin rindu. Ia pun memutuskan untuk menunggu sampai pulang. Hingga pada akhirnya sang istri setia menunggu dari balik pintu seraya berdo’a meminta keselamatan atas suaminya, dan tanpa sadar ia pun tertidur di balik pintu itu.
Sampailah Azam didepan rumahnya. Namun, melihat jam tangannya sudah menunjukan puul 00.30 Wib. Namun, Ia tidak berani mengetuk pintunya karena ia takut mengganggu waktu istirahat istrinya. Hingga ia pun tertidur didepan pintu rumahnya.
Waktu subuh telah tiba, pukul 04.00 Wib terbangunlah Aina (istri Azam) dan ia semakin khawatir. “Astaghfirullah, ko Mas Azam belum pulang juga, ada apa ya Allah?” Gumam Aina dalam hatinya. Ia membuka pintu mencoba untuk mencari suaminya. Dan ketika  membukakan pintu ia kaget karena suaminya tertidur di depan pintu rumahnya. Azam terbangun karena kaget pula pintu yang ia jadikan sebagai sandaran tidurnya terbuka. Sang istri langsung memeluk Azam suaminya dan meminta maaf kepadanya.
“Maaf mas, aku enggak tahu kalau Mas tidur didepan pintu, tapi kenapa tidak mengetuk pintu?” Tanya sang istri.
“Enggak papah, tadi mas pulang larut malam dan mas enggak berani mengetuk pintu karena mas enggak mau ganggu waktu istrihat kamu neng.”
Jawaban sang suami membuat Aina sang istri terharu karena kasih sayang suaminya yang tidak terkira.
Waktu sudah semakin siang dan lebih siang dari hari sebelumnya. Azam kembali memulai perjalanan bersama Ustadz Haris untuk menyadarkan masyarakat dari kesesatan Pak Tho’is. Begitu seterusnya hingga lima belas hari Azam dan Ustadz Haris berdakwah kesetiap rumah, ada yang sadar dan ingin kembali bertobat kepada Allah. Namun, tidak sedikit yang menolak dan bahkan sebagian warga mencerca Azam dan Ustadz Haris. Hinaan, cacian dan celaan tidak sedikitpun mematikan keimanan dan semangat Azam dan Ustadz Haris dalam berdakwah. Bersama Ustadz Haris Azam tetap berjalan dengan jumlah pengikutnya yang tidak banyak.
Pak Tho’is yang mulai mencurigai gerak-gerik Ustadz Haris dan Azam. Mulai mencurigai gerak-gerik Ustadz Haris dan Azam. Setelah menelusuri informasi dari beberapa warga. Pak Tho’is geram ketika mendengar niat Azam dan Ustadz Haris ingin menghilangkan ajarannya dari desa Sekarmaju.
Azam dan Ustadz Haris tetap menghiasi hari-harinya dengan dakwah. Sementara dilain sisi Pak Tho’is merencanakan siasat buruk kepada keduanya.
Pada hari ke-17, Azam dan Ustadz Haris bersilaturahmi ke salah satu rumah warga yang merupakan pengikut setia Pak Tho’is. Namun, ujian kian menimpa ketika mereka berdua mengetuk pintu rumah tersebut. Dua ember berisi kotoran kambing melumuri badan Azam dan Ustadz Haris. Malangnya lagi ketika Azam dan Ustadz Haris hendak pergi, mereka disiram dengan air got dari belakang.
Berbeda dari hari sebelumnya, Azam dan Ustadz Haris harus pulang ke rumah sebelum terbenamnya matahari. Sesampainya di rumah, Sang istri pun menyambutnya dengan senyum manisnya yang menghilangkan kesedihan dan kegundahan Azam.
“Ya Allah mas, kenapa?” Tanya istri sambil mengajak suaminya masuk kedalam rumah.
“Enggak papah ko, tadi ada orang yang enggak senang ajah sama mas dan Ustadz Haris. Kami berdua dilemparinya dengan kotoran kambing dan dibilasnya pula dengan air got.” Ujar Azam untuk menjelaskan kepada istrinya.
“Astaghfirullah, segitunya.. Tapi mas harus tetap semangat. Rasulullah saja dulu dilempari dengan batu sampai mukanya berdarah dan giginya patah Rasulullah tidak pernah berhenti berdakwah. Jadi kalau Mas tetap semangat dengan kedaan seperti ini, niscaya Mas bisa bertemu dengan Rasulullah SAW di Telaganya, kan Mas pernah bilang ke saya, bahwa Rasulullah menunggu di Telaganya bagi mereka yang senantiasa berjuang di Jalan Allah.” Tutur sang istri sambil memberikan secercah motivasi semangat.
Azam yang mendengar tutur kata istrinya yang penuh motivasi membalas dengan senyum dan mengelus kepala istrinya sebagai tanda kasih sayangnya.
Panas, hujan dan celaan yang melanda ibarat bumbu penyemangat Azam dan ustadz Haris. Mereka berdua datang kembali untuk bersilaturahmi ke rumah warga yang belum dijamahnya. Dua puluh hari sudah Azam dan Ustadz Haris berjuang dengan kesabaran dan keuletannya dan kini sudah semakin banyak warga yang memberikan respon positif kepada mereka.
Hari semakin malam, mereka pun pulang ke rumah dengan ucapan syukur yang selalu terlantunkan. Namun, di tengah perjalanan Azam dan Ustadz Haris di kepung oleh 10 orang yang tidak mereka kenal dengan bersenjatakan golok dan samurai.
“Bismillah zam kita lawan.” Pinta Ustadz Haris kepada Azam.
Dengan keyakinan kepada Allah Azam dan Ustadz Harispun melawan. Mereka memasrahkan semuanya kepada Allah karena mereka meyakini akan ada  dua kabar gembira yang akan mereka raih, menang atau gugur sebagai syuhada.
Satu sabetan, dua sabetan, tiga sabetan golok menghantam kepala dan badan Azam. Sedangkan Ustadz Haris sudah terkapar syahid diatas tanah dengan hantaman samurai dilehernya. Azam mulai terkapar, sedangkan 10 orang yang menghantam pergi begitu saja.
Aina (sang istri) yang berada di rumah tiba-tiba mempunyai firasat buruk perihal suaminya. Sebuah firasat yang tidak biasa, saking dahsyatnya Aina keluar rumah untuk mencari suaminya meski waktu sudah larut malam. Dengan berlari kecil dalam keadaan mengandung, ia berteriak memanggil suami tercintanya. Dengan sifat nalurinya sebagai seorang istri, ratusan mil sudah ia lewati hingga akhirnya terdengar rintihan seseorang. “Mas Azaaaamm,,” Teriak Aina dengan keras.” Akhirnya Aina pun menemukan suaminya yang dalam keadaaan merintih.
“Astaghfirullah maass Azam, ada apa?” Tanya sang istri dengan air mata yang mulai menetes membasahi pipi. Ia pun memeluk suaminya yang berlumuran darah. Diangkatlah kepala Azam tepat ke pangkuannya. Air mata kian berlinang dipipi Aina, Sang Istri.
“Neng, kalau Saya pergi, tolong didik anak kita dengan Al-Qur’an dan sunnah, didik  ia menjadi muslim sejati, menjadi orang yang berilmu, serta menjadi mujahid yang syahidnya tidak terkira dan memiliki .” Pinta Azam kepada Istrinya.
“Iyah Maaas......” Jawab Aina dengan air mata yang mengalir sangat deras. “Biarkan anak yang ada di kandungan ini menjadi saksi darah syahid Mas Azam, aku janji akan mendidik anak kita.” Jawab istri sambil memegang perut yang terkandung bayi didalamnya dengan tetesan air mata yang membasahi.
“Temui Aku di telaga surga Neng, semoga di telaga Salsabila kita bersua.” Ujar Azam dengan kalimat laa ilaa haillallah Muhammadarrosulullah yang mengakhiri hidupnya.
Aina pun mencium kening suaminya yang berlinang darah.
“Mas, Ajaranmu akan selalu dikaji, jejakmu kan selalu diselusuri, karena Mujahid sejatinya tidak akan mati.” Ujar Aina sambil memangku jenazah suaminya.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Alllah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
(Qs. Al-Baqoroh : 154)

3 comments:

  1. Bisa dijadiin Novel nih.. Ceritain pas masa2 mereka di pesantren. Terus setelah azam meninggal, ceritakan perjuangan aina mendidik dan membesarkan anak2nya. Penasaran endingnya bakalan gimana yaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menarik sih memang, apakah aina akan menikah lagi atau memilih hidup sendiri mendidik putra azzam?

      Delete