Cerpen Kisah Cinta Mujahid -Temui Aku di Telaga Salsabila-
Dalam
keheningan malam yang sunyi. Gelap dan sepi yang menyelimuti, rintikan hujan
berbunyi tiada henti. Tepat pada tanggal 07 November 2000, sosok pemuda berusia
25 tahun, Azam Abdullah. Akrab dipanggil Azam, Ia tertidur lelap di malam yang
sunyi dan sepi.
Tiba-tiba terdengar lantunan merdu “Insya Allah
dari Maher Zain” di sudut kamar Azam. Sebuah alarm yang telah Azam setting
untuk membangunkannya di 1/3 malam. Ibadah
sholat malam telah Azam lewati untuk melepas rindunya pada sang Ilahi.
Tiba-tiba adzan subuh berkumandang, tampak terdengar panggilan seorang wanita
dari depan pintu kamar Azam.
“Nak,
sudah subuh, buruan ke masjid....!” Suaranya terdengar agak serak.
“Iyah
Mak, azam udah bangun ko.” Jawab Azam dengan lembut.
Setelah
ditunaikannya sholat subuh, azam bergegas pulang. Namun sesampainya ia di pintu
masjid, tampak seorang laki-laki dibelakangnya memanggil namanya. Orang itu pun
semakin mendekati azam dan Ia pun memandanginya dengan mata sayu.
“Eh
Pak Ustadz Kamil, ada apa Pak Ustadz?” Tanya Azam dengan suara lembut. Ia
begitu menantikan apa yang akan diucapkan oleh Ustadz Kamil yang merupakan
sosok ustadz yang telah membuatnya terinspirasi karena semangatnya yang luar
biasa dalam berdakwah.
“Enggak
ko, ente baru pulang dari Malang yah zam?” Tanya Ustadz Kamil.
“Iyah
Pak Ustadz, alhamdulillah kemarin wisudaan Pak Ustadz.” Jawab Azam sambil
tersenyum memandangi Ustadz Kamil.
Ustadz
Kamil mula-mula meminta Azam untuk menceritakan pengalamannya semasa ia belajar
di Universitas Islam Negeri yang ada Malang. Dengan senang Azam
menceritakannya, sesekali canda tawa menyelimuti perbincangan Azam dan Ustadz
Kamil. Azam menceritakan pengalaman pahit dan manis yang pernah ia rasakan,
salah satu pengalaman pahitnya ketika ia pernah diludahi dan dimusuhi oleh
orang-orang ketika ditugaskan oleh kampusnya untuk mengabdi disebuah pedasaan
dan mengajarkan islam disana. Ustadz
Kamil begitu antusias mendengarkan tutur kata Azam dan sedikit demi sedikit
memahami keperibadian sosok pemuda itu lewat gaya bicaranya serta segala
pengalamannya yang luar biasa.
Ustadz
Kamil menggeleng, “Masya Allah, pengalaman ente hebat juga yah zam, kalau
begitu ente mau enggak jadi penjual bareng ane?” Tanya Ustadz Kamil. Azam
kaget, ia berfikir sejenak sambil mengingat sosok Ustadz Kamil yang waktu dulu
bukanlah seorang penjual/pedagang.
“Hmm...
emang Pak Ustadz jualan apa?” Tanya Azam dengan nada penasaran.
Ustadz
Kamil tiba-tiba mengajak Azam untuk duduk sejenak di depan teras Masjid. Azam
semakin penasaran dan menantikan apa yang akan diutarakan oleh sosok yang
menjadi inspirasinya itu.
“Begini
zam, ente kan masih muda sedangkan ane udah tua, ente masih kuat sedangkan ane
udah mulai melemah. Menurut ane, ente tuh sosok pemuda yang berani, berjiwa
pemimpin, ente juga berilmu, berwibawa, dan tentunya ente adalah pemuda yang
taat kepada Allah SWT. Dunia ini sudah semakin tua zam, ....”
“Afwan
Pak Ustadz, jadi penjual ko nyambungnya ke situ? Apa kaitannya Pak Ustadz?” Tanya
Azam yang memotong ucapan Ustadz Kamil. Azam merasa bingung dengan apa yang
diutarakan oleh Ustadz Kamil.
“Dengerin
dulu zam, belum selesai.....” Jawab Ustadz Kamil sambil memberikan senyuman
kecil kepada Azam.
“Hehe
iyah Pak Ustadz afwan... “
Mentari
yang semakin tampak di ufuk sebelah timur. Suasana masjid yang berbeda dari
sebelumnya. Namun, tak sedikitpun menyurutkan perbincangan 2 insan yang
memancarkan keimanan bagi siapa saja yang memandang. Dan mulailah Ustadz Kamil
kembali melanjutkan pembicaraan.
“Dunia
ini semakin tua zam, dan sejatinya dunia ini hanyalah sebuah tempat
persinggahan sementara yang suatu saat nanti kita pasti pergi untuk menuju
tempat keabadian yaitu akhirat. Lihatlah di belahan bumi sana zam, banyak
saudara-saudara muslim kita yang ditindas, ditebas lehernya, mereka dibantai,
dihinakan, serta tidak ada lagi rumah yang dapat mereka jadikan tempat tinggal,
hari-harinya hanya untuk mengejar kematian, meraih syuhada dan mencari rumah di
Surga. Al-Quran kini disisihkan dan ajaran Islam dilupakan, Islam kini menjadi
asing seperti sedia kala ketika pertama kali muncul ke permukaan. Dan fakta
hari ini, banyak Umat Islam yang takut dengan keislamannya. Mereka hanya
terpaku terdiam menyaksikan pembantaian saudaranya sendiri. Dakwah bukan lagi
sebagai prioritas kehidupan, sehingga wajar kalau umat islam tersisihkan. Azam,
ente harus jadi pejuang sejati, menjadi penjual yang selalu menawarkan
kebaikan-kebaikan yang ada dalam Al-Quran. Tugas ente hari ini adalah Dakwah
zam.”
Azam
yang merupakan aktivis dakwah semasa kuliah terharu dengan apa yang disampaikan
oleh Ustadz Kamil. Ia tak kuasa menahan air matanya hingga jatuh ke lantai
masjid. Dengan segera Azam langsung memeluk Ustadz Kamil dan menyanggupi
tawaran Ustadz Kamil untuk bareng-bareng menjadi pedangang, dengan kata lain
menjadi penyeru umat manusia.
Seiring
berjalannya waktu, kini Azam lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Ustadz
Kamil untuk belajar dan menemani beliau yang hidupnya disibukan dengan menyeru
umat menuju jalan yang selamat. Baik mengisi pengajian bapak-bapak, ibu-ibu
atau bahkan mengajar para pemuda untuk memahami islam. Sibuknya Azam dalam
dunia dakwah, bukan berarti ia melupakan kehidupan dunianya. Berbekal ilmu yang
ada dan semangat yang menggelora, Azam kini sukses dengan pekerjaannya sebagai Penulis
sekaligus Direktur di Perusahaan Islamic Book di Bandung, tanah kelahirannya.
Sebelum
Ustadz Kamil wafat, beliau memberikan nasihat untuk Azam. “Ketika nanti ane
udah pergi, tetaplah ente berpegang teguh pada jalan ini zam. Lanjutkan
perjuangan ini dan carilah teman sejatimu
dengan segera. Yaitu seorang wanita yang akan menemani perjuanganmu,
yang akan membelamu disaat yang lain mencercamu, yang akan menjadi penghibur
dikala kesedihanmu, yang akan melengkapi agamamu dan yang akan melahirkan
kader-kader dakwah dari rahimnya.
***
Enam
bulan Azam telah berpisah dengan sosok yang menjadi inspirasi hidupnya yang
sudah pulang ke alam akhirat. Usai menunaikan ibadah sholat subuh Azam teramat
rindu dengan sosok Ustadz Kamil. Di pembaringan kamar tidurnya, sejenak Azam
memikirkan nasib dakwah di kampung halamannya. Tiba-tiba ia teringat satu kalimat “carilah teman sejatimu….”
Tak terasa waktu sudah
menunjukan 06.00 Wib. “Azam… Azam… sarapan yuk..” Panggil Emak di depan kamar
azam.
Segera Azam bersiap-siap duduk di meja makan untuk menyantap hidangan yang
sudah disiapkan diatas meja. Semenjak Abahnya meninggal, Azam hanya hidup bersama emaknya dan adik wanitanya yang baru
berusia sepuluh tahun.
Sesaat mata Azam terfokus pada gelas yang bening tanpa air
diatas meja. Dipandanginya gelas itu tanpa sedikitpun berkedip. Ia tiba-tiba menafsirkan dalam hatinya, “sebagus apapun, sebersih dan sebening apapun gelas,
tak lengkap dan tentunya takkan pernah bisa memberi manfaat jikalau tiada air didalamnya. Sama halnya dengan diri ini, sehebat
apapun, sejatinya tidaklah lengkap tanpa pendamping hidup yang akan mengisi
hati, menyegarkan hari-hari dan menemani
dalam setiap titian kehidupan.”
“Emak...Mak... itu kenapa kakak melamun ajah…” Tanya adik kepada Emak.
“Azam…! hayuk buruan makan, mikirin apa sih zam? Pengen
nikah toh zam?” Tanya Emak sambil menggetak tangan Azam yang ada di meja.
Azam kaget tanpa menjawab pertanyaan emaknya dan hanya memberi senyuman kecil kepada emak dan adik perempuannya.
Jam dinding sudah
menunjukan pukul 07.00 WIB, Azam bergegas
kembali
masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke kantornya. Segalanya sudah Azam persiapkan, pamitlah ia kepada emaknya untuk bekerja. Dalam perjalanan menuju
kantornya, Ia mulai memikirkan
sesuatu. Wasiat ustadz kamil dan ucapan emaknya tadi pagi melekat dalam pikirannya, yaitu menikah.
***
Dalam waktu tiga bulan,
Azam pun akhirnya menikahi seorang wanita dari desa Sukajadi, Kab.
Serang. Sebuah
desa yang terkenal dengan kebengisannya dan merajalelanya kemaksiatan dan jauh
dari nilai-nilai keislaman.
Dengan
restu dari keluarga kedua mempelai dan proses ta’aruf yang berhasil dilalui,
kini Azam mengimpikan ketenangan dan kedamaian hidup yang telah lama ia nantikan.
Ia menikah dengan
wanita bernama Ainul Mardhiyah, akrab dipanggil Aina. Salah
seorang wanita yang terpandang di desanya karena kemuliaan akhlaknya serta kedalaman ilmunya.
Aina bukanlah wanita yang Asing
buat Azam, Ia merupakan satu angkatan dengan Azam semasa SMP, sebuah SMP yang
dipadukan dengan pesantren, tepatnya di Pesantren Nurul
Ilmi di daerah Bandung,
Jawa Barat. Alasan Azam memilih Aina sebagai teman sejatinya adalah karena Ia merasa jatuh hati saat pertama
mengenalnya di SMP. Dan azam tahu betul tentang pribadi
dan perangainya semasa
belajar di Pesantren. Yaitu, keimanannya yang selalu terpancar dalam bingkai
akhlak, tutur katanya sederhana namun penuh makna serta terjaga maruahnya.
Selain itu juga, Aina merupakan sosok wanita yang sangat cerdas semasa di
pesantren.
“Mas,
kenapa Allah mempertemukan kita yah? padahal dulu kita jarang bertegur sapa, malah mas sangat cuek sekali.”
Tanya Aina
kepada Azam
suaminya.
Azam tersenyum sambil ia memegang
tangan istrinya. “Inilah hakikat perjodohan neng, penuh drama dan menyimpan
sejuta rahasia. Mas hanya berharap semoga kita kan selalu bersama di jalan
Allah hingga kelak kita bisa bersua di Surga-NYA”
Sang istri tertegun dengan
ucapan suaminya. “Insya Allah mas,
semoga aku bisa menjadi istri sholehah yang membantu dalam setiap perjuangan mas. Aku akan
belajar dari Khadijah yang telah memberikan cinta terbaiknya kepada Rasulullah,
yang menemani Rasulullah disaat yang lain menjauhi, yang mencintai Rasulullah
disaat yang lain membenci. Doakan yah Mas, semoga aku bisa walau mungkin sulit.
Ingat Mas,
pernikahan kita ini sebagai penyempurna agama kita dan akan sempurna jika Mas selalu
menuntunku di jalan dakwah. Dan yang terpenting dari sebuah pernikahan adalah
sebagai rumah bagi Mujahid dan Mujahidah
kecil kita yang kelak akan menjadi jaminan kita untuk masuk surga.” Ujar Aina.
Pada saat itulah air mata Azam jatuh untuk yang kedua
kalinya setelah terakhir kali air mata itu
jatuh di hadapan Ustadz Kamil. Ia pun mengecup
kening istrinya seraya berkata kepadanya, “semoga engkau kuat menjalaninya
sayang.”
***
Kini
Azam tinggal di Desa Sekarmaju
Kab. Serang, tanah kelahiran istrinya.
Namun, Azam tidak pernah melupakan emaknya yang kini jauh dari tempat
tinggalnya. Ia meminta tolong kepada keponakan laki-lakinya untuk tinggal di
rumah emaknya dan menjaga adik wanitanya yang masih kecil. Lingkungan yang
terasa amat asing bagi Azam. Namun, baginya ini adalah langkah awal untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya yang jauh dari nilai-nilai islam.
Profesinya sebagai Direktur dan Penulis
buku tidak berhenti kendati domisilinya jauh dari kantornya. Karena perusahaan
yang ia pimpin tersebut sudah berkembang pesat dan mempunyai cabang di beberapa
daerah. Termasuk di daerah Serang.
Azam
memulai langkah awalnya. Ia ingin melanjutkan perjuangannya sewaktu tinggal di
tanah kelahirannya dulu bersama Ustadz Kamil. Yaitu, aktif mengajar pengajian
(dakwah) pemuda dan ibu-ibu serta mengaktifkan kegiatan syiar islam guna
mencapai satu tujuan yang pernah ia dambakan bersama almarhum Ustadz Kamil,
yaitu menyebarkan islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin dan membawa masyarakat menuju keridhoan Allah SWT.
“Sayang, disitu ko masjidnya sepi banget yah?” Tanya
Azam kepada Aina.
“Iyah mas, tadinya aktif, tapi sekarang udah pada
enggak berani lagi pergi ke masjid.”
“Laahh, enggak berani sama siapa neng?” Tanya Azam
yang mulai penasaran.
“Jadi mas, disini tuh ada yang namanya Pak Tho’is,
orang paling kaya di desa ini, ia punya banyak Body Guard gituh mas. KTP ia islam, tapi ia melarang masyarakat
untuk datang ke masjid, bahkan mengancam akan membunuh warga yang masih datang
ke masjid. Makanya saya sama teman-teman yang yang dulu sering ngaji di masjid di
pengajian Ustadz Haris, sekarang kami enggak berani lagi datang ke masjid.”
Urat
nadi Azam menegang ketika mendengarkan penjelasan istrinya, tampak dari
wajahnya rasa geram dan penasaran dengan sosok Pak Tho’is. “selain itu, apalagi
yang Pak Tho’is lakukan di desa ini neng?” Tanya Azam. “ketika pertama kali
datang ke desa ini Ia mengaku pernah
belajar di mekkah dan mengatakan kepada masyarakat di desa ini bahwa islam
sudah direvisi. Pak Tho’is juga sering memengaruhi masyarakat untuk mengikuti
ajarannya mas. Untuk itu keluarga saya dan sahabat-sahabat saya sekarang
beribadah di rumah masing-masing dan selalu bersembunyi ataupun menghindar
ketika ada Pak Tho’is, terkadang kami juga sedih mas melihat masyarakat yang
disiksa Pak Tho’is lantaran membangkang ajarannya.” Ujar Aina dengan nada yang
sedih.
Azam
yang semakin geram dengan sosok Pak Tho’is bertanya kembali pada Istrinya.
“Emang ia ngajarin apa Neng??”.
“Ia ngajarin bahwa sholat itu cukup sekali dalam
seminggu, yaitu pada hari sabtu. Ia juga mengatakan kalau sholat itu jangan di
masjid, karena masjid itu tempat berkumpulnya para jin. Ada satu lagi yang aneh
Mas, jadi sebelum melakukan sholatnya pun di anjurkan untuk meminum alkohol
atau sejenis minuman keras gituh. Ia juga punya tempat tersendiri untuk
melakukan sholat sama para pengikutnya. Tapi, tempatnya gelap gituh Bang,
pokoknya enggak ada cahaya sedikitpun deh. Sholatnya juga harus dalam kedaan
telanjang, disitu campur laki-laki dan perempuan Mas.”
“Astaghfirullah....” ucap Azam dengan raut wajah
yang nampak gelisah berlapis kesedihan dalam hatinya.
“Mas, kamu harus berani melawan mereka. Mas harus
dateng ke rumah Ustadz Haris minta bantuan sama beliau dan ajak Ustadz Haris
lagi supaya mau mengaktifkan masjid dan memberantas kesesatan itu mas.” Pinta
sang istri.
Tanpa
pikir panjang bergegaslah Azam dan meminta tolong kepada Istrinya untuk
menemaninya dan menunjukan rumah Ustadz Haris. Hingga sampailah mereka di
kediaman rumah Ustadz Haris, oleh istrinya Azam diperkenalkan kepada Ustadz
Haris. Tatkala melihat Ustadz Haris, dipandanginya Ustadz Haris yang sudah
menampakan wajah yang tidak ceria lagi dengan alisnya yang sudah mulai memutih,
pikiran Azam teringat kembali dengan sosok Ustadz Kamil. Dengan kewibawaan yang
tampak dalam setiap gerak-geriknya saat berbicara, Azam mencoba untuk membujuk
Ustadz Haris untuk bareng-bareng menyelamatkan desa Sekarmaju dari azab Allah SWT. Dan
syukur alhamdulillah berkat bujukan dari Azam dan istrinya, Ustadz Haris
memberikan respon positifnya dam meminta Azam untuk datang kembali ke rumahnya
esok pagi untuk bersilaturahmi ke rumah
para warga dan memberi pemahaman tentang islam yang benar kepada mereka.
Tibalah
pagi yang dinanti, tepat pukul 07.00 Wib Azam pamit kepada istrinya, “Sayang,
Mas mau pergi, do’akan semoga dakwah Mas sama Ustadz Haris mendapat antusias para
warga.”
“Iyah mas, akan selalu
aku do’akan yang terbaik buat mas.” Jawab sang istri sambil tersenyum.
Pamitlah Azam sambil
memberikan kecupan ke kening Istrinya dengan lantunan do’a بسم الله توكلت على الله لاØول ولاقوَّØ© الاّبالله .
Berjalanlah
azam menuju rumah Ustadz Haris Ustadz Haris. Hingga akhirnya dimulailah perjalanan awal mereka. Sebuah
perjalanan dakwah yang berbeda dari dakwah yang biasa Azam serukan semasa di
desanya dulu. Bersama Ustadz Haris ia berharap bisa mendatangi setiap rumah
warga. Dengan berbekal silaturahmi yang berbeda dari silaturahmi biasanya,
tentunya membutuhkan waktu yang amat banyak untuk memberikan pemahaman tentang
apa itu hakikat keimanan dan keislaman. Ghiroh Azam semakin kuat bertambah dan
semangat pun semakin memuncak. Ia kembali teringat dengan perjuangan dakwah
awal Rasulullah SAW yang mendatangi setiap pintu rumah warga mekkah dulu.
Satu pintu, dua pintu, tiga sampai enam pintu
telah mereka sambangi. Namun, apa yang diharapkan tidaklah semudah apa yang
dipikirkan. Hari sudah gelap, matahari tak terlihat, alunan do’a yang kini
selalu terucap dari mulut dua sosok insan yang tidak kenal putus asa. Akhirnya,
Ustadz Haris dan Azam memutuskan untuk kembali ke rumah.
Istri
Azam yang dalam keadaan hamil 3 bulan sudah menyiapkan hidangan makan malam
untuk suaminya di rumah, merasa khawatir dan hatinya semakin gundah gulana.
Melihat jam menunjukan pukul 11.45 Wib, tapi suaminya tak kunjung pulang,
hatinya semakin rindu. Ia pun memutuskan untuk menunggu sampai pulang. Hingga
pada akhirnya sang istri setia menunggu dari balik pintu seraya berdo’a meminta
keselamatan atas suaminya, dan tanpa sadar ia pun tertidur di balik pintu itu.
Sampailah
Azam didepan rumahnya. Namun, melihat jam tangannya sudah menunjukan puul 00.30
Wib. Namun, Ia tidak berani mengetuk pintunya karena ia takut mengganggu waktu
istirahat istrinya. Hingga ia pun tertidur didepan pintu rumahnya.
Waktu
subuh telah tiba, pukul 04.00 Wib terbangunlah Aina (istri Azam) dan ia semakin
khawatir. “Astaghfirullah, ko Mas Azam belum pulang juga, ada apa ya Allah?” Gumam
Aina dalam hatinya. Ia membuka pintu mencoba untuk mencari suaminya. Dan
ketika membukakan pintu ia kaget karena
suaminya tertidur di depan pintu rumahnya. Azam terbangun karena kaget pula pintu yang ia jadikan sebagai sandaran tidurnya
terbuka. Sang istri langsung memeluk Azam suaminya dan meminta maaf kepadanya.
“Maaf mas, aku enggak tahu kalau Mas tidur didepan
pintu, tapi kenapa tidak mengetuk pintu?” Tanya sang istri.
“Enggak papah, tadi mas pulang larut malam dan mas
enggak berani mengetuk pintu karena mas enggak mau ganggu waktu istrihat kamu
neng.”
Jawaban sang suami membuat Aina sang istri terharu
karena kasih sayang suaminya yang tidak terkira.
Waktu sudah semakin siang dan lebih siang dari
hari sebelumnya. Azam kembali memulai perjalanan bersama Ustadz Haris untuk
menyadarkan masyarakat dari kesesatan Pak Tho’is. Begitu seterusnya hingga lima
belas hari Azam dan Ustadz Haris berdakwah kesetiap rumah, ada yang sadar dan
ingin kembali bertobat kepada Allah. Namun, tidak sedikit yang menolak dan
bahkan sebagian warga mencerca Azam dan Ustadz Haris. Hinaan, cacian dan celaan
tidak sedikitpun mematikan keimanan dan semangat Azam dan Ustadz Haris dalam
berdakwah. Bersama Ustadz Haris Azam tetap berjalan dengan jumlah pengikutnya
yang tidak banyak.
Pak Tho’is yang mulai mencurigai gerak-gerik
Ustadz Haris dan Azam. Mulai mencurigai gerak-gerik Ustadz Haris dan Azam. Setelah
menelusuri informasi dari beberapa warga. Pak Tho’is geram ketika mendengar
niat Azam dan Ustadz Haris ingin menghilangkan ajarannya dari desa Sekarmaju.
Azam dan Ustadz Haris tetap menghiasi hari-harinya
dengan dakwah. Sementara dilain sisi Pak Tho’is merencanakan siasat buruk
kepada keduanya.
Pada hari ke-17, Azam dan Ustadz Haris
bersilaturahmi ke salah satu rumah warga yang merupakan pengikut setia Pak
Tho’is. Namun, ujian kian menimpa ketika mereka berdua mengetuk pintu rumah
tersebut. Dua ember berisi kotoran kambing melumuri badan Azam dan Ustadz Haris.
Malangnya lagi ketika Azam dan Ustadz Haris hendak pergi, mereka disiram dengan
air got dari belakang.
Berbeda dari hari sebelumnya, Azam dan Ustadz
Haris harus pulang ke rumah sebelum terbenamnya matahari. Sesampainya di rumah,
Sang istri pun menyambutnya dengan senyum manisnya yang menghilangkan kesedihan
dan kegundahan Azam.
“Ya Allah mas, kenapa?” Tanya istri sambil
mengajak suaminya masuk kedalam rumah.
“Enggak papah ko, tadi ada orang yang enggak
senang ajah sama mas dan Ustadz Haris. Kami berdua dilemparinya dengan kotoran
kambing dan dibilasnya pula dengan air got.” Ujar Azam untuk menjelaskan kepada
istrinya.
“Astaghfirullah, segitunya.. Tapi mas harus tetap
semangat. Rasulullah saja dulu dilempari dengan batu sampai mukanya berdarah
dan giginya patah Rasulullah tidak pernah berhenti berdakwah. Jadi kalau Mas
tetap semangat dengan kedaan seperti ini, niscaya Mas bisa bertemu dengan
Rasulullah SAW di Telaganya, kan Mas pernah bilang ke saya, bahwa Rasulullah
menunggu di Telaganya bagi mereka yang senantiasa berjuang di Jalan Allah.”
Tutur sang istri sambil memberikan secercah motivasi semangat.
Azam yang mendengar tutur kata istrinya yang penuh
motivasi membalas dengan senyum dan mengelus kepala istrinya sebagai tanda
kasih sayangnya.
Panas, hujan dan celaan yang melanda ibarat bumbu
penyemangat Azam dan ustadz Haris. Mereka berdua datang kembali untuk bersilaturahmi
ke rumah warga yang belum dijamahnya. Dua puluh hari sudah Azam dan Ustadz
Haris berjuang dengan kesabaran dan keuletannya dan kini sudah semakin banyak
warga yang memberikan respon positif kepada mereka.
Hari semakin malam, mereka pun pulang ke rumah
dengan ucapan syukur yang selalu terlantunkan. Namun, di tengah perjalanan Azam
dan Ustadz Haris di kepung oleh 10 orang yang tidak mereka kenal dengan
bersenjatakan golok dan samurai.
“Bismillah zam kita lawan.” Pinta Ustadz Haris
kepada Azam.
Dengan keyakinan kepada Allah Azam dan Ustadz
Harispun melawan. Mereka memasrahkan semuanya kepada Allah karena mereka
meyakini akan ada dua kabar gembira yang
akan mereka raih, menang atau gugur sebagai syuhada.
Satu sabetan, dua sabetan, tiga sabetan golok menghantam
kepala dan badan Azam. Sedangkan Ustadz Haris sudah terkapar syahid diatas
tanah dengan hantaman samurai dilehernya. Azam mulai terkapar, sedangkan 10
orang yang menghantam pergi begitu saja.
Aina (sang istri) yang berada di rumah tiba-tiba
mempunyai firasat buruk perihal suaminya. Sebuah firasat yang tidak biasa,
saking dahsyatnya Aina keluar rumah untuk mencari suaminya meski waktu sudah
larut malam. Dengan berlari kecil dalam keadaan mengandung, ia berteriak
memanggil suami tercintanya. Dengan sifat nalurinya sebagai seorang istri, ratusan
mil sudah ia lewati hingga akhirnya terdengar rintihan seseorang. “Mas
Azaaaamm,,” Teriak Aina dengan keras.” Akhirnya Aina pun menemukan suaminya
yang dalam keadaaan merintih.
“Astaghfirullah maass Azam, ada apa?” Tanya sang istri
dengan air mata yang mulai menetes membasahi pipi. Ia pun memeluk suaminya yang
berlumuran darah. Diangkatlah kepala Azam tepat ke pangkuannya. Air mata kian
berlinang dipipi Aina, Sang Istri.
“Neng, kalau Saya pergi, tolong didik anak kita
dengan Al-Qur’an dan sunnah, didik ia
menjadi muslim sejati, menjadi orang yang berilmu, serta menjadi mujahid yang
syahidnya tidak terkira dan memiliki .” Pinta Azam kepada Istrinya.
“Iyah Maaas......” Jawab Aina dengan air mata yang
mengalir sangat deras. “Biarkan anak yang ada di kandungan ini menjadi saksi
darah syahid Mas Azam, aku janji akan mendidik anak kita.” Jawab istri sambil
memegang perut yang terkandung bayi didalamnya dengan tetesan air mata yang
membasahi.
“Temui Aku
di telaga surga Neng, semoga di telaga Salsabila kita bersua.” Ujar Azam dengan
kalimat laa ilaa haillallah
Muhammadarrosulullah yang mengakhiri hidupnya.
Aina pun mencium kening suaminya yang berlinang
darah.
“Mas, Ajaranmu akan selalu dikaji, jejakmu kan
selalu diselusuri, karena Mujahid sejatinya tidak akan mati.” Ujar Aina sambil
memangku jenazah suaminya.
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Alllah,
(bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya.”
(Qs. Al-Baqoroh : 154)
Baguss sekali yah
ReplyDeleteBisa dijadiin Novel nih.. Ceritain pas masa2 mereka di pesantren. Terus setelah azam meninggal, ceritakan perjuangan aina mendidik dan membesarkan anak2nya. Penasaran endingnya bakalan gimana yaa..
ReplyDeleteMenarik sih memang, apakah aina akan menikah lagi atau memilih hidup sendiri mendidik putra azzam?
Delete